Melihat tren global, gangguan jiwa atau lemahnya kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu perifer dalam pembangunan kesehatan, apabila kita mencermati estimasi WHO mengenai disability-life adjusted years (DALY) pada tahun 2012 menempatkan Unipolar Depressive Disorders pada peringkat 9 dari 20 penyakit utama, apabila dibandingkan dengan penyakit menular (communicable diseases) atau penyakit tidak menular (noxn-communicable diseases) lainnya.
Artinya, meskipun
gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai problem epidemiologis, nyatanya
memiliki dampak yang cukup signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam
disabilitas.
Gangguan
kesehatan mental membutuhkan fokus penuh dari para pengambil kebijakan,
mengingat gangguan kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang
membutuhkan respon cepat dari penyedia layanan kesehatan.
Survei yang
dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa nilai kerugian dalam domain
sumberdaya manusia yang harus ditanggung pemberi kerja mencapai US$36 juta
setiap tahunnya akibat major depressive disorder (MDD) yang diderita para
pekerjanya. Lebih lanjut, 10 negara partisipan survei WMH melaporkan adanya
rata-rata kerugian produktivitas sampai dengan 22 hari/pekerja.
Sayangnya
sampai dengan saat ini, gangguan kesehatan mental masih tergolong low priority
issue di mayoritas negara berkembang. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen
para pengambil kebijakan untuk serius menangani masalah kesehatan mental,
meskipun data-data epidemiologis menunjukkan bahwa problem ini tak lagi bisa
dianggap remeh.
Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang lalu memang menunjukkan adanya
penurunan prevalensi gangguan mental emosional, apabila dibandingkan dengan
Riskesdas tahun 2007. Namun, penurunan prevalensi kejadian kesehatan mental
merupakan sebuah anomali, bahkan sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan di
lapangan.
Hal ini
semakin menegaskan bahwa pemerintah kekurangan data epidemiologis yang
berkualitas untuk menyusun kebijakan kesehatan mental. Perangkat kebijakan yang
menaungi upaya peningkatan kualitas kesehatan mental di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 mengenai Kesehatan Jiwa.
Upaya
membentuk payung legislasi atas kebijakan kesehatan mental adalah usaha yang
patut diapresiasi, meskipun pemerintah cenderung lambat dalam menjabarkannya
dalam peraturan teknis. Selain itu, arah kebijakan kesehatan mental di
Indonesia masih berkutat di area kuratif, belum memberikan porsi yang sama pada
tahap preventif, promotif maupun rehabilitatif.
Upaya
tersebut dipengaruhi oleh komitmen pemerintah Indonesia dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia dengan alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot
5% dari APBN 2016, sedangkan anggaran untuk kesehatan mental hanya rata-rata 1%
dari total anggaran kesehatan. Selain isu mengenai data epidemiologis, proses
legislasi dan health budgeting, isu lainnya yang menjadi sentral dalam
perbincangan mengenai kesehatan mental di Indonesia adalah problem mengenai
kesenjangan perawatan (treatment gap) serta stigma dan diskriminasi yang
dialami oleh orang dengan gangguan mental (ODGM).
Masalah
kesehatan mental tak lagi dapat dianggap sebagai isu perifer dalam perancangan
kebijakan kesehatan. Faktanya, gangguan kesehatan mental adalah ancaman global
yang juga harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Kebijakan
kesehatan mental yang evidence-based tentunya tak mungkin dapat disusun apabila
data epidemiologis yang berkualitas tidak tersedia, sehingga langkah pertama
yang harus diambil oleh pemerintah adalah berupaya untuk memotret kondisi
kesehatan mental masyarakat melalui riset yang komperhensif.
Dengan data
yang komperhensif, perancangan program kunci dan alokasi anggaran tentunya akan
dapat diatur secara proporsional. Selanjutnya komitmen politik yang progresif
menjadi faktor pendorong mengatasi kesenjangan perawatan. Pemerintah harus
merevitalisasi upaya dukungan kesehatan mental yang berkualitas berbasis
keluarga dan komunitas, yang saat ini linier dengan sistem kesehatan
nasional kita.
Akan tetapi,
faktanya sejumlah orang diketahui mengalami gangguan pada kesehatan
mentalnya. Secara global, kesehatan mental merupakan isu sentral
pembangunan kesehatan. WHO menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi
yang sifatnya integral; artinya tidak bukan sekedar bebas dari penyakit, namun
kondisi dimana seseorang mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental
dan sosial.
Agar
masyarakat bisa memahami mengenai gangguan kesehatan mental. Berikut ini 10
fakta seputar kesehatan mental yang dikeluarkan Badan PBB Bidang atau World
Health Organization (WHO).
Wah bagus banget infonya
BalasHapustenkyuu infonyaa
BalasHapusMakasih infonya min
BalasHapusWaaa bermanfaat sekalii😍
BalasHapusWow bermanafaat bgt infonya
BalasHapus👍🏻👍🏻👍🏻
BalasHapusMakasih jnfonyaa
BalasHapusMakasi infonya👍
BalasHapusMksh infonyaa kaka
BalasHapus